Masih ingatkah kalian dengan teks yang satu ini:
“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu,
tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Pasti banyak sekali ekspresi orang diluar sana saat membaca atau
saat mendengar teks ini. Ada yang lupa-lupa ingat, ada yang merasa begitu akrab
dipendengarannya tapi tidak tahu apa
sebenarnya teks tersebut, ada juga yang sudah mengenal teks tersebut dengan
baik, bahkan ada juga yang sama sekali tidak mengenali teks tersebut. Sebagai generasi
muda yang akan meneruskan perjuangan bangsa ini seharusnya kita sudah mengenali
dan bisa memaknainya dengan baik.
Teks tersebut dihasilkan dari sebuah kongres yang dinamakan Kongres
Pemuda II, yang diadakan pada tanggal 28 Oktober 1928 di Jalan Kramat Raya No 106 sebuah rumah pondokan
milik seorang Tionghoa yang bernama Sie Kong Liong. Ide penyelenggaraan Kongres
ini berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) yang diketuai
oleh Sugondo Djojopuspito. Dihadiri oleh
para peserta yang berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda
tiap daerah dari golongan yang berbeda-beda yang ada pada saat itu. Sebelum kongres
ditutup atas saran dari Sugondo, untuk pertama kalinya juga lagu
"Indonesia Raya" karya Wage Rudolf Supratman dimainkan dengan biola tanpa
syair.
Teks diatas merupakan bukti otentik
bahwa pada tanggal 28 Oktober 1928 bangsa Indonesia dilahirkan. Para pemuda
pada saat itu membulatkan tekad untuk mengangkat harkat dan martabat hidup seluruh
rakyat Indonesia. Tekad inilah yang
menjadi dorongan perjuangan rakyat Indonesia hingga 17 tahun kemudian lebih
tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia berhasil meraih kemerdekaan
dan terlepas dari jajahan kaum kolonialis.
Mengaku bertumpah darah yang satu, berbangsa yang satu, dan menjujung
bahasa persatuan (Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa). Sudah jelas bahwa
teks tersebut memuat nilai-nilai persatuan dan kesatuan yang ditunjukan oleh
para pemuda 85 tahun lalu. Sangat berbeda dengan kenyataan para pemuda jaman
sekarang yang selalu diwarnai dengan tawuran dan demo yang terjadi tidak hanya
di kota-kota besar saja. Ironisnya para pelakunya kebanyakan adalah para
pelajar dan mahasiswa tetapi tidak jarang juga masyarakat lainnya. Tidak hanya
itu, dengan danya pengaruh globalisasi pun menyebabkan pudarnya rasa cinta kita
terhadap tanah air ini. Sebagai pemuda dan pemudi Indonesia yang notabenenya merupakan pemimpin dimasa yang
akan datang, seharusnya kita bisa saling menjaga persatuan dan kesatuan Negara ini
sesuai dengan makna yang terkandung pada teks diatas yaitu teks “Sumpah Pemuda”.
Sebagai “Generasi Muda” marilah kita memaknai peringatan Hari
Sumpah Pemuda ini dengan saling menjaga persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia,
terus memupuk dan menumbuhkan cinta terhadap tanah air sendiri, dan terwujudnya
satu rasa tanggung jawab diantara kita semua demi terwujudnya Indonesia yang
bersatu untuk mencapai cita-cita menjadi Indonesia yang makmur dan terbebas
dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.